Minggu, 26 Juli 2009

Kebiasaan buruk komunikasi kita

Salah satu penyakit yang kurang mendapat perhatian dari manusia adalah kebiasaan berbicara kurang membiasakan mendengarkan. Kebiasaan berbicara seakan menjadi simbul bahwa manusia yang bisa berbicara adalah manusia yang mempunyai intelegensi cukup atau tinggi. Namun sayang kebiasaan tersebut tidak diikuti dengan kebiasaan mendengarkan. Sehingga terjadi kemacetan dialog yang menyaratkan komunikasi dua arah.
Padahal, kebiasaan mendengarkan merupakan kebiasaan yang dapat mengantarkan manusia pada level 'arif'. Kebiasaan ini bila dijaga secara konsisten sesuai tempat dan waktunya akan mengantarkan manusia pada kebiasaan mau memberi dan mau menerima. Tidak egois mau mendengar bahasa orang lain, mau mendengar keluhan orang, dan mau merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ending dari kebiasaan mendengarkan menjadikan diri kita menjadi pendengar yang baik, sama artinya kita membina dan memupuk empati dan menghormati serta
menghargai sesama.
Disadari, memang tidak mudah apabila diri kita sudah dijangkiti penyakit hanya mau berbicara tetapi kurang suka mendengarkan. masalahnya penyakit ini sudah begitu akut menguasai ego kita. membuat kita merasa tidak perlu mendengarkan ucapan orang lain yang mungkin lebih bermutu dan rasional. Bahayanya penyakit ini menjadikan kita selalu melecehkan orang lain dan selalu mengangap oarang lain bodoh.
Oleh karena itu. belajar dan terus belajar memerangi kebiasaan tersebut bila suatu saat penyakit itu kambuh. Hal ini sebagai jalan untuk mencerahkan buram-buram dalam kebiasaan jelek yang kurang kita sadari. Sekedar mau mendengarkan ucapan orang lain yang berisi apapun akan menempatkan kita pada posisisi kematangan jiwa.
Apalagi bila saat mendengarkan kita lakukan dengan serius dan sungguh-sungguh menyimak pembicaraan orang lain sesekali menimpali hal yang penting maka peran kita sebagai komunikator akan semakin dihargai orang sebagaimana kita menghargai lawan bicara dengan kesungguhan. Dengan demikian kebiasaan kita menjadi pendengar yang baik mengurangi miscommunication atau meminta pembicara mengulang pembicaraannya.
akhirnya, kita harus berani belajar menekan kebiasaan buruk kita dalam berkomunikasi agar tercipta saling mengerti dan saling memahami. Sehingga perselisihan yang bersumber dari wacana dialog semakin dapat ditekan dan tidak melebar menjadi permusuhan yang tidak rasional.

1 komentar: